EDITORIALBOGOR – Perayaan Ceng Beng memiliki sejarah panjang yang melibatkan budaya Tionghoa kuno dan kepercayaan leluhur. Festival ini diyakini berasal dari Dinasti Zhou (abad ke-11 hingga ke-3 SM) di Tiongkok kuno. Pada awalnya, Ceng Beng adalah waktu untuk menghormati alam dan menanam padi sebagai awal musim semi. Namun, seiring waktu, festival ini berkembang menjadi momen untuk menghormati leluhur dan memperingati roh-roh yang telah meninggal.
Selama Dinasti Tang (abad ke-7 hingga ke-10 M), tradisi Ceng Beng mulai menjadi lebih formal dengan ritual-resital kuno dan pemujaan leluhur. Di Tiongkok, biasanya diadakan pada hari yang sesuai dengan penanggalan lunar. Festival ini kemudian menyebar ke negara-negara Asia Timur lainnya, termasuk Indonesia, yang memiliki komunitas Tionghoa yang besar.
Di Indonesia, Ceng Beng tetap diadakan oleh keturunan Tionghoa sebagai bagian dari warisan budaya. Ini melibatkan ritual membersihkan dan merawat makam, memberikan persembahan kepada leluhur, dan berkumpul bersama keluarga untuk memperingati orang yang telah meninggal. Tradisi ini terus berkembang dan beradaptasi dengan budaya lokal di berbagai tempat di seluruh Indonesia.
Ceng Beng tidak diwajibkan secara agama atau hukum untuk dilaksanakan. Namun, bagi komunitas Tionghoa yang menganut tradisi ini, Ceng Beng memiliki makna yang sangat penting secara budaya dan spiritual. Melaksanakan Ceng Beng adalah cara untuk menghormati leluhur, memperingati roh-roh yang telah meninggal, dan menjaga hubungan dengan garis keturunan. Meskipun tidak wajib, banyak orang Tionghoa merasa penting untuk melanjutkan tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya dan spiritual.
Selama Ceng Beng, keluarga berkumpul untuk membersihkan dan merawat makam, membakar kertas berwarna atau uang palsu sebagai persembahan kepada arwah, dan melakukan berbagai ritual untuk menghormati leluhur. Tradisi ini sering kali diwarnai dengan pemberian makanan dan minuman kepada arwah serta doa-doa.
Ada beberapa pantangan atau aturan yang umumnya diikuti oleh beberapa keluarga atau komunitas selama Ceng Beng, meskipun hal ini dapat bervariasi berdasarkan kepercayaan dan tradisi budaya yang berbeda. Beberapa contoh pantangan yang mungkin diterapkan selama Ceng Beng adalah:
1. Tidak mengunjungi atau membersihkan makam pada malam hari, karena dianggap membawa pertanda buruk.
2. Tidak mengambil atau membawa pulang makanan atau persembahan yang diletakkan di makam, karena dianggap mengganggu roh-roh.
3. Tidak melakukan kegiatan yang bersifat hiburan atau menyenangkan, seperti tertawa keras atau bermain-main di sekitar makam, karena dianggap tidak sopan dan tidak hormat kepada leluhur.
4. Tidak mengadakan pernikahan atau acara kebahagiaan besar lainnya selama periode Ceng Beng, karena dianggap tidak menghormati roh-roh yang sedang diperingati.
Pantangan-pantangan ini bertujuan untuk menjaga kesopanan, menghormati leluhur, dan memastikan bahwa ritual Ceng Beng dilakukan dengan penuh rasa hormat dan kepatutan. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua keluarga atau komunitas akan mengikuti semua pantangan ini, dan praktiknya dapat bervariasi. (***)